- AHY Dorong Kolaborasi BI dan OJK untuk Perkuat Infrastruktur Ekonomi Digital Indonesia
- Bandara Juwata Tarakan Dinilai Siap Layani Penerbangan Internasional
- Semarak KKB 2025 di Tarakan, BI Targetkan Transaksi Rp 2,5 Miliar dan Hiburan RAN
- Rocky Gerung Tantang Aktivis Muda Kaltara Dorong Isu Lingkungan ke Panggung Dunia
- Harga Emas di Pegadaian Turun Lagi, Rabu 29 Oktober 2025
- Komitmen Investasi untuk IKN Capai Rp 225 Triliun, Bukti Kepercayaan Investor Terus Menguat
- Ekonomi Kalimantan Utara Tumbuh 4,54 Persen di Triwulan II-2025
- Harga Batu Bara Meroket, China dan Korea Selatan Jadi Penentu Arah Pasar Globa
- Bupati Nunukan Salurkan Sekolah Gratis untuk Siswa SD dan SMP
- Kaltara Komitmen Wujudkan Pelayanan Perizinan yang Efisien dan Transparan
Trump Naikkan Tarif Impor, 22 Negara Kena Getahnya Indonesia Termasuk
Trump Ancam Tarif Tinggi, Dunia Internasional Kembali Cemas

Keterangan Gambar : Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump
Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali membuat gebrakan kebijakan dengan mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap produk dari 22 negara. Langkah ini diumumkan secara bertahap pada 7 hingga 9 Juli waktu setempat, dengan rincian 14 negara pertama diumumkan awal pekan, sementara 8 negara sisanya dipublikasikan pada Rabu dan Kamis.
Kebijakan tarif baru ini akan mulai berlaku efektif per 1 Agustus 2025, dan disebut-sebut sebagai strategi Trump untuk menekan defisit perdagangan AS serta mendorong perusahaan asing untuk berinvestasi atau membangun pabrik di wilayah Amerika.
Kenaikan tarif ini bervariasi, mulai dari 20% hingga 50%, tergantung negara. Indonesia sendiri dikenai tarif tetap sebesar 32%, tanpa perubahan dari kebijakan sebelumnya. Dalam surat resmi ke masing-masing kepala negara, Trump menyatakan bahwa tarif baru ini masih “lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan ketimpangan neraca dagang.”
Baca Lainnya :
|
Negara |
Tarif Baru |
Tarif Lama |
|
Brasil |
50% |
10% |
|
Laos |
40% |
48% |
|
Myanmar |
40% |
44% |
|
Kamboja |
36% |
49% |
|
Thailand |
36% |
36% |
|
Bangladesh |
35% |
37% |
|
Serbia |
35% |
37% |
|
Indonesia |
32% |
32% |
|
Aljazair |
30% |
30% |
|
Bosnia Herzegovina |
30% |
35% |
|
Irak |
30% |
39% |
|
Libya |
30% |
31% |
|
Sri Lanka |
30% |
44% |
|
Afrika Selatan |
30% |
30% |
|
Brunei Darussalam |
25% |
24% |
|
Jepang |
25% |
24% |
|
Kazakhstan |
25% |
27% |
|
Malaysia |
25% |
24% |
|
Moldova |
25% |
31% |
|
Korea Selatan |
25% |
25% |
|
Tunisia |
25% |
28% |
|
Filipina |
20% |
17% |
Trump berulang kali menyatakan bahwa defisit perdagangan adalah bukti bahwa AS dieksploitasi oleh negara mitra dagang. Namun, sejumlah ekonom dan analis perdagangan internasional menilai bahwa defisit tidak selalu mencerminkan kerugian, melainkan hasil dari neraca konsumsi dan produksi domestik.
Kebijakan tarif ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri ekspor, terutama dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Apabila tidak diimbangi dengan upaya diplomasi dan diversifikasi pasar, tarif ini berpotensi mengganggu volume perdagangan dan investasi antarnegara.











